Fiqih sebagai sebuah ilmu yang berisi seperangkat hukum-hukum Islam yang bersifat praktis (amaliyah) harus mampu menjembatani antara hakikat hukum yang dikehendaki Tuhan (Syar’i)
dengan realitas kehidupan yang dialami manusia sebagai pelaksana hukum.
Seluruh tindakan manusia baik berupa transaksi antar sesama manusia (mu’amalah) maupun yang bersifat transendental hanya berhubungan dengan Tuhan (Ibadah) di dalam syari’ah Islam telah diatur hukum-hukumnya. Ketentuaan tersebut secara umum (universal) telah diatur didalam nash (al-Qur’an) dan sunnah Nabi Muhammad SAW dan penjelas dengan penafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh para ulama terdahulu.
Aborsi Bagi Perempuan Positif HIV/AIDS
Perubahan-perubahan sosial yang berlangsung dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat menunutut adanya upaya-upaya dalam penggunaan daya
fakir yang optimal dalam menggali suatu hukum Islam yang baru dan
sumbernya, al-Qur’an dan as-Sunnah, untuk mendapatkan jawaban terhadap
suatu permasalahan hukum yang muncul di masyarakat.[1]
Ketika suatu hukum dianggap pada perubahan masyarakat yang dinamis, maka
suatu keharusan bagi hukum untuk mampu melakukan adaptasi terhadap
perubahan tersebut, yang terpenting adalah bagaimana sebuah hukum mampu
menjawab permasalahan yang timbul didalam masyarakat yang senantiasa
berubah dan tidak pernah statis ini.
Apabila hukum tidak mampu beradaptasi, maka yang terjadi adalah kesenjangan antara hukum dan masyarakat,[2]
maka ijtihad merupakan salah satu mekanisme hukum Islam untuk melakukan
adaptasi terhadap perubahan-perubahan untuk menjamin eksitensi
ditengah-tengah masyarakat.[3]
Ijtihad merupakan sebuah proses perkembangan yang terus menerus,
sedangkan wahyu dan ke-Nabi-an berhenti setelah wafatnya Nabi Muhammad
SAW. Selanjutnya ijtihad menjadi main instrumen untuk
menginterprestasikan wahyu dan mengkoresikan dengan perubahan kondisi
umat Islam sekaligus memelihara ke harmonisan antara wahyu dan akal.[4]
Pada akhirnya tujuan final dari ijtihad itu sendiri adalah mewujutkan
kemaslahatan baik dunia maupun akhirat, menolak kemafsadatan serta
mewujudkan keadilan yang mutlak.
Dalam menentukan hukum aborsi bagi perempuan positif HIV/AIDS setelah
kehamilan 120 hari dapat diketahui dengan cara mengqiyaskannya. Sebelum
mengqiaskan suatu hukum yaitu dengan menganalisis rukun qiyas terlebih
dahulu agar suatu hukum dapat diketahui. Dalam menimbang-nimbang rukun
qiyas tersebut yaitu dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
para ulama’ diantaranya:
1). Al-Ashal yaitu bersumber berupa nas yang menjelaskan tentang hukum
atau wilayah tempat sumber hukum. Dalam mengqiyaskan masalah penyakit
HIV AIDS adalah dengan tujuan macam penyakit dalam hukum Islam, tiga
diantaranya terdapat pada laki-laki dan perempuan yaitu sakit jiwa,
baras, penyakit kulit, judzam (lepra) dan empat cacat yang lain
masing-masing cacat hanya pada laki-laki yaitu unnah, majbub dan dua
cacat lain hanya terdapat pada perempuan yaitu qarn dan ratq.[5] Al-Aslnya adalah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu hambal dari Zaid Ibnu Ka’ab yang merupakan sahabat Nabi SAW:
ان رسول صلى الله عليه وسلم تزوجامراة من بني عفارفلما دخل عليها ووضع توبة وقعدعلي الفراش ابصربكشحها بيا فا نخازعنالفراش ثم قال خذي عليك ثيا بك ولم يا خدممااتتاهاشيئا. [6]
2). Al- Far’u yaitu
sesuatu yang tidak ada ketentuan nasnya, dalam hal ini dalah penyakit
HIV/AIDS, kalau melihat syarat dari al-Far’u dalam kerangka teoritik
maka jelas bahwa penyakit HIV/AIDS dapat dikategorikan menjadi al-Far’u
karena penyakit HIV/AIDS yang diderita oleh seseorang dapat menggangu
tubuh dan dapat membahayakan jiwa orang lain, sehingga ain illat dan ain
hukumnya sama, belum ada aturan secara jelas dan tidak menyalahi dalil qat’i, kalau di runtun satu persatu dari syarat-syarat furu’ tersebut maka penyakit HIV/AIDS sudah dapat masuk sebagai furu’.
3). Al-Illat yaitu sifat atau alasan serupa yang menggubungkan asal dan
cabang, disini illatnya adalah menjadikan seseorang menghindar adanya
bahaya terhadap jiwanya seseorang tersebut yang sedang mengidap penyakit
HIV/AIDS.
4). Al-Hukm yaitu hukum, yang dipergunakan qiyas
untuk memperluas hukum dari al-Ashal ke a-l-Far’u (cabang), jadi segala
ketentuan hukum yang berlaku pada seseorang yang dirinya terdapat tujuh
cacat tersebut juga berlaku bagi penderita penyakit HIV/AIDS.
Dari rukun-rukun qiyas telah dapat dianalisis menurut penyusun adalah sebagai berikut:
1. HIV/AIDS
merupakan salah satu penyakit yang membahayakan bagi jiwa seseorang dan
orang lain, seperti halnya penyakit yang telah ditentukan oleh hukum
Islam, maka HIV/AIDS harus dihindari. dan dijauhkan dari kehidupan
2. Jika
diketahui seorang perempuan yang sedang hamil, setelah kehamilan 120
hari dan terjangkit penyakit HIV/.AIDS yang membahayakan bagi jiwanya
sendiri dan bayi yang dikandung, sebelumnya belum diketahui ia menderita
penyakit tersebut, agar tidak menimbulkan masalah yang lebih serius,
maka aborsi bagi perempuan positif HIV AIDS setelah kehamilan 120 hari
boleh dilakukan demi menyelamatkan jiwa seseorang dan banyak orang
(udzur).
Selain qiyas diatas para ulama pun mendapatkan kemaslahatan, karena dasarnya semua dengan ketentuan Syara’, dalam menentukan hukum-hukumnya yang bertujuan mencari kemaslahatan manusia seluruhnya di dunia maupun di akhirat.
ومنهم من يققولربنااتنافيا الدنيا حسناوفىالاخرةحسنةوقناعذاباالنار[7]
Allah memuji orang yang berdoa untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia
dan akhirat, bermaksud atau berfaidah agar dijadikan contoh tauladan bagi kaum muslimin.
Dalam usaha mencapai tujuan pembentukan hukum Islam yaitu merealisir
kemaslahatan bagi manusia, maka syara’ menjamin atau memelihara
kebutuhan pokok manusia (daruriyah) memenuhi kebutuhan skunder (hajiyah) dan kebutuhan pelengkap (tahsiniyah).
Adapun yang dimaksud dengan tujuan primer (daruriyah) ialah
segala sesuatu yang keberadaannya niscaya agar ditegakkannya
kemaslahatan bagi manusia didunia dan di akhirat. Dalam arti jika
daruriyah ini tidak terwujud akan menghancurkan kehidupan manusia di
dunia dan di akhirat nanti.[8]
Tujuan pokok (primer) tersebut bertitik tolak kepada lima perkara
yaitu, agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Begitulah tertib susunan
dari keseluruhan primer.[9]
Kebutuhan utama yang harus dipenuhi tersebut telah disepakati berbagai
pihak bukan hanya oleh para ulama Islam melainkan oleh seluruh agamawan.[10]
Tujuan skunder (hajiyah)
mempunyai pengertian yaitu sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia agar
dapat menghilangkan kesempitan dan meringankan beban yang menyulitkan,
memudahkan jalan bagi mereka, seperti adanya ketentuan rukhsah dalam
bidang ibadah dan jual beli dalam bidang muamalah dan lainnya.[11] Maksud dari kebutuhan pelengkap (fahsiniyah) adalah sesuatu yang dapat memperoleh atau memperindah segala keberadaan manusia sepanjang batas-batas norma dan ahlak mulia.
Dengan mengetahui perbedaan pemenuhan kebutuhan antara daruriyah, hajiyah, tahsiniyah dalam
rangka mencapai kemaslahatan manusia, maka dapat diprediksikan secara
professional bahwa pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan daruriyah harus
didahulukan dari pada kebutuhan hajiyah dan tahsiniyah. Karena tanpa
pemenuhan kebutuhan yang sesungguhnya (daruriyah), maka kebutuhan
berikutnya tidak dapat dijalankan. Setelah kebutuhan daruriyah
terpenuhi baru memelihara kebutuhan hajiyah agar bisa menghindari dari
kesempitan dan kesulitan. Setelah tepenuhi, tahsiniyah bisa terpenuhi
untuk memperindah dan memperelok kehidupan manusia. Demikianlah tertib
susunan kebutuhan manusia dalam merialisikan tujuan hukum syara’ dalam mencapai kemaslahatan manusia.
Dengan demikian jika ada pertentangan antara komponen daruriyah yang
satu dengan yang lainnya maka harus diambil yang terpenting.
Dalam konteks menetapkan kepastian hukum mengenai angka kematian ibu
akibat aborsi tak aman merupakan dua kondisi yang sama-sama
membahayakan, dapat dianalisis dengan menggunakan kaidah fiqih, antara
lain: pertama, “Bahaya itu menurut agama harus dihilangkan (al-dlara yuzaalu sya’an)”, kedua, “Bahaya yang lebih berat dapat dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih ringan (al-dharar al-asyadd yuzaalu bi al-dharar al-akhaff)” atau “Jika dihadapkan pada dua kondisi yang sama-sama membahayakan, maka pilihlah bahaya yang resikonya lebih kecil (Idza ta’aaradlat al-mafsadataani ruu’iya a’dhamuhuma dlarara)”, ketiga, “Keterpaksaan dapat membolehkan untuk hal-hal yang dilarang (al-dlaruratu tubihul mahdzuraat)”, keempat, “Fatwa itu dapat berubah tergantung pada perubahan situasi dan keadaan, tempat, motivasi dan tradisi yang berlaku (taghayyur al-fatwa wa ikhtilafuha yuhsabu taghayyur al-azminah wa al-amkinah, wa al-niyyat wa al-‘awaaid)”.[12] Dan banyak lagi kaidah-kaidah yang lain dalam menetapkan suatu kepastian hukum.
Dengan mengetahui tujuan dan dasar-dasar pembentukan hukum syara’, kita
dapat menetapkan hukum suatu perkara yang tidak ada nasnya secara
langsung dan hanya mengunakan qiyas.
Pengguguran kandungan (aborsi) sesudah nafkhu ar-ruh
(ditiupkannya nyawa pada janin sesudah usia 120 hari atau empat bulan
kehamilan), baik dilakukan dengan cara penyedotan dan pengurasan
kandungan (menstrual regulation) dengan memasukkan alat penyedaot pengurasan dan pembersihan (vaccum aspirator)
kedalam rahim wanita maupun dengan cara lainnya hukumnya adalah haram,
kecuali jika menurut dokter yang amanah bahwa hal itu merupakan
satu-satunya jalan untuk mnyelamatkan jiwa ibu yang mengandung. Sebagai
mana dalam firman Allah SWT :
ولاتقتلواالنفس التي حرم الله الابالحق[13]
Para ulama berpendapat bahwa hukum pengguguran kandungan (aborsi) setelah nafkhu ar-ruh (setelah kehamilan 120 hari atau empat bulan) sebagai berikut:
a. Prof.
Drs. H. Masjfuk Zuhdi berkata, “ Aborsi yang benar-benar atas indikasi
medis dapat dibenarkan, seperti janin cacat genetik yang kalau lahir
kelak sulit disembuhkan. Dan apabila tanpa indikasi medis, maka aborsi
merupakan perbuatan yang tidak manusiawi, bertentangan dengan moral
agama dan mempunyai dampak negatif berupa dekadesi moral terutama
dikalangan remaja dan pemuda, sebab legalitas abortus dapat mendorong
keberanian orang untuk melakukan hubungan seksual sebelum nikah (free
seks atau kumpul kebo).[14]
b. Al-Suyuti berpendapat bahwa, sepanjang yang dapat ditelunsuri dari literatur fiqih aborsi, atau isqath al-hanl, dan ijhadh menurut
bahasa fiqih, maka dapat dikemukakan sebuah kesepakat ulama, tanpa
melihat usia kandungan, bahwa aborsi dapat dilakukan sepanjang
pembiaraan janin didalam perut ibu sampai kelahirannya dipastikan akan
membahayakan dan mengancam hidup ibu, kepastian ini didasarkan atas
pertimbangan medis oleh dokter ahli. Pandangan ini memperlihatkan bahwa
pertimbangan keselamatan ibu lebih diutamakan ketimbang kematian janin.
Dalam pandangan fiqih, kematian janin memiliki resiko lebih ringan
dibanding resiko kematian ibu, karena ibu adalah asal dari janin atau
bayi. Eksetensinya telah nyata. Ibu juga memiki sejumlah kewajiban.
Sementara janin atau bayi dalam kandungan, meskipun mungkin telah eksis,
tetapi ia tidak mewakili kewajiban terhadap orang lain; “Jika terjadi
delema, maka korbankan yang paling ringan resikonya”.[15]
c. Komisi
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi DKI Jakarta berpendapat
bahwa pengguguran kandunga (aborsi) setelah terjadinya nafkhu ar-ruh
(usia 120 hari atau empat bulan kehamilan) adalah haram, kecuali jika
ada alasa medis atau alasan lain yang dibenarkan oleh agama Islam.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang hukum menggugurkan kandungan
(aborsi) sebelum terjaninya nafkhu ar-ruh (usia 120 hari atau empat
bulan) sebagai berikut:
a. Menurut
ulama Zaidiyah, sebagaimana ulama madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hambali, bahwa hukum menggugurkan kandungan (aborsi) sebelum terjadinya nafkhu ar-ruh adalah mubah (boleh) secara mutlak, baik ada alas an medis maupun tidak.
b. Menurut sebagian ulama madzhab Hanafi dan Syafi’i, bahwa hukum menggugurkan kandungan (aborsi) sebelum terjadi nafkhu ar-ruh adalah mubah (boleh), jika ada alasan medis (‘udzur). Jika tidak ada alas an medis (‘udzur), maka hukumnya makruh.
c. Menurut sebagian ulama madzhab Maliki, bahwa hokum menggugurkan kandungan (aborsi) sebelum terjadinya nafkhu ar-ruh adalah makruh secara mutlak baik ada alasan medis maupun tidak.
d. Menurut pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Maliki, bahwa hukum menggugurkan kandungan (aborsi) sebelum terjadinya nafkhu ar-ruh adalah haram.
e. Ulama
kontemporer seperti Muhammad Syalthut mengaharamkan aborsi sejak
bertemunya sperma dan ovum. Alasannya sejak pertemuan itu sudah ada
kehidupan, meskipun belum diberi nyawa. Pada kandungan yang sedang
mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi mahkluk baru, yang
bernama manusia, yang harus dihormati dan dilindungi eksitensinys. Makin
jahat dan makin besar dosanya apabila pengguguran dilakukan setelah
janin bernyawa, apabila kalau baru lahir dari kandungan itu samapai di
bunuh atau dibuang.[16]
f. Yusuf
al-Qardawi menyatakan bahwa pada dasarnya hukum aborsi adalah haram,
meskipun keharamanya bertingkat-tingkat sesuai dengan perkembangan
janin. Pada usia 40 hari pertama tingkat keharamannya paling ringan,
bahkan kadang-kadang boleh digugurkan kecuali ada alasan yang lebih
kuat, selagi menurut ukuran yang ditetapkan oleh para ahli fiqih.
Keharaman itu bertambah kuat dan lipat ganda setelah kehamilan 120 hari
yang dihadis diistilahkan telah memasuki tahap peniupan roh.[17]
g. Menurut pendapat Imam al-Ghazali dari kalangan mazhab Syafi’I, bahwa jika nuthfah (sperma) telah bercampur (ikhtilath) dengan ovum dan siap menirima kehidupan (isti’dad li qabul al-hayah), maka merusaknya dipandang sebagai tindak pidana (jarimah); Dengan demikian hukumnya adalah haram. Sebagai mana disebutkan dalam kitab Ihya’Ulum ad-Din Juz II, halaman 51 sebagai berikut:
”azal (pencegahan kehamilan) adala berbeda dengan pengguguran
kandungan atau pembunuhan bayi yang telah lahir. Karena hal itu
(pengguguran kandungan atau pembunuhan bayi yang telah lahir) adalah
suatu tindak pidana terhadap makhluk yang telah ada. Pengguguran
kandungan (aborsi) sebagai suatu tindak pidana terdiri dari beberapa
tingkatan. Tingkatan pertama (yang paling ringan tindak pidananya)
adalah aborsi yang dilakukan ketika nutfah (seperma) telah bertemu dan
bercampur dengan ovum dalam rahim wanita dan telah siap menerina
kehidupan. Merusakkan wujud yang demikian adalah suatu kejahatan.
Apabila nuthfah (sperma) telah tumbuh menjadi ‘alaqah (segumpal darah)
dan mudlgoh (segumpal daging), maka aborsi terhadap janin tersebut lebih
keji. Bila janin telah berbentuk bayi secara sempurna dan telah
ditiuokan ruhnya, maka aborsi terhadap janin tersebut adalah lebih keji
lagi. Puncak dari pada kekejian tersebut adalah apabila pembunuhan
tersebut dilakukan terhadap bayi yang lahir dari ibunya dalam keadaan
hidup”. [18]
Syari’at hanya membolehkan pengguguran kandungan (aborsi) bilamana para
dokter menyatakan dengan kepastian yang beralasan bahwa berlanjutnya
kehamilan akan membahayakan nyawa si ibu. Kebolehan ini didasarkan pada
prinsip “mengambil yang lebih kecil buruknya dari dua keburukan yang
dalam terminologi Islam dikenal dengan prisip al-ahamm wa al-muhimm
(yang lebih penting dan yang penting)”. Nabi Muhammad berkata “apabila
ada dua barang atau perkara terlarang datang sekaligus (pada seseorang),
maka yang lebih kecil dikorbankan demi yang lebih besar”. Dalam kasus
sekarang, orang dihadapkan pada dua hal yang terlarang. Menggugurkan
anak yang belum lahir atau membiarkan seseorang wanita menderita yang
mengakibatkan kematian.
Berdasarkan madaratnya yang ditimbulkan dari kehamilan akibat suatu
penyakit mematikan diatas (HIV AIDS), maka aborsi dapat dibenarkan pada
usia 120 hari dengan alasan:
1. Karena
darurat dalam menghindari korban atau menghindari beban moral.
Alasannya darurat dibenarkan membolehkan suatu yang haram adalah:
a. Al-Qur’an,
surat al-Baqarah berbunyi, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu dalam
kebinasaan”, dan surat an-Nisa (4) ayat 29 yang berbunyi, “Dan
janganlah kamu bunuh dirimu sendiri”. Membiarkan praktek aborsi
dilakukan orang-orang yang tidak ahlinya sama halnya dengan
menjerumuskan orang pada kebinasaan.
b. Kaidah
usul yang mengatakan, “Kemadaratan itu harus dihapuskan”, atau kaidah
yang mengatakan, “Apabila bersatunya dua perkara yang diharamkan tidak
dibolehkan dalam diri seseorang yang terpaksa maka wajib didahulukan
perkara yang lebih kecil mafsadatnya dan paling sedikit madaratnya
karena melebihi dari apa yang diperlukan tersebut, tidak dibenarkan,
menanggung malu bayi sang ibu, amak lahir cacat.
2. Berdasarkan ilmu kedokteran, bayi yang cacat jika lihat dari:
1) Ketentuan umum.
a. Darurat adalah suatu keadaan dimana seseorang apabila tidak melakukan suatu tindakan yang diharamkan, maka ia akan mati.
b. Hajat
adalah suatu keadaan dimana seseorang apabila tidak melakukan sesuatau
yang diharamkan maka ia akan mengalami kesulitan berat.
2) Ketentuan hukum.
a. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implikasi blastosis pada dinding rahim pada ibu (nidasi).
b. Aborsi diperbolehkan karena ada udzur, baik bersifat darurat maupun hajat.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 4 Tahun tentang aborsi adalah sebagai berikut:
1. Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang membolehkan aborsi adalah sebagai berikut:
a. Perempuan
hamil diketahui menderita sakit fisik stadium lanjut, TBC dengan
caverna dan penakit-penyakit fisik berat yang ditetapkan oleh Tim
Dokter.
b. Dalam keadaan darurat kehamilan yang mengancam nyawa sang ibu.
2. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah sebagai berikut:
a. Janin yang dikandung dideteksi oleh Tim Dokter menderita cacat genetic yang kalau lahik kelak sulit disembuhkan.
b. Kebolehan
akibat pemerkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang berwewenang yang
didalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, polisi dan
ulama.
c. Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud pada huruf (b), harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari.
d. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.[19]
Sepanjang yang dapat ditelusuri dari literatur fiqih aborsi, atau isqath al-haml, dan ijhadh
menurut bahasa fiqih, maka dapat dikemukakan sebuah kesepakatan ulama,
tanpa melihat usia kandungan, bahwa aborsi dapat dilakukan sepanjang
pembiaraan janin di dalam perut ibu dipastikan akan membahayakan dan
mengancam hidup ibu, dan kepastian ini atas pertimbangan medis oleh
dokter ahli. Pandangan ini memperlihatkan bahwa pertimbangan keselamatan
hidup ibu lebih diutamakan ketimbang kematian janin. Dalam pandangan
fiqih, kematian janin memiliki resiko lebih ringan dibanding resiko
kematian ibu, karena ibu adalah asal janin atau bayi.
Pandangan para ahli fiqih tentang motif aborsi diatas tampaknya masih
terbatas pada indikasi media dan kesehatan belaka. Motif-motif lain
seperti indikasi sosial, ekonomi, politik dan psikologis belum
mendapatkan uraian panjang lebar. Tetapi sesungguhnya menarik ketika
kita amati bahwa sebagian ulama Hanafi membolehkan aborsi, meskipun
bukan karena suatu alas an (bi ‘udzraw bi ghair udzr).
Akhirnya, satu hal yang perlu digaris bawahi dalam hubungannya dengan
relasi-relasi kemanusiaan, termasuk di dalamnya relasi berdasarkan
gender ialah bahwa Islam merupakan agama keadilan, agama yang menolak
segala bentuk diskriminasi dan bentuk kekerasan. Ia lahir untuk
menegakkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang luhur. Kepadanyalah seluruh
kontruksi pemikiran, konsep dan aturan kehidupan seharusnya dirumuskan
oleh kaum muslimin kemudian diamalkan atau diaplikasikan dalam kehidupan
sosial mereka.
___________________________
Referensi
[1]
Upaya yang dimaksud dikenal dengan ijtihad sebagai upaya optimal
interprestasi rasional terhadap nas-nas (al-Qur’an dan as-Sunnah).
Secara letiral ijtihad berasal dari kata” jahuda” yang berarti upaya,
usaha (effort, endeavor). Dalam kajian ushul fiqh, ijtihad didefinisikan
sebagai upaya untuk sampai kepada hukum syara’ dari dalil-dalil tafsili
yang ada dalam hukum-hukum syar’i, maka ijtihad menjadi kebutuhan yang
urgen dan abadi selama masih ada kejadian baru yang muncul. Kondisi
masyarakat yang selalu berubah dan berkembang, dan selama syari’at Islam
masih cocok disetiap zaman dan memiliki problematika realita dan
kebutuhan yang senantiasa muncul. Lihat dari Yusuf al- Qurdawi, “Ijtihad Dalam Syari’at Islam”: Beberapa Analisis Tentang Ijtihad Kontemporer, Terjemahan, Ahmad Syatori, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987)., halm. 132.
[2] Sutjipto Raharjo, Ilmu Hukum , cet. ke-4, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1996), hlm. 191.
[3] T.M Hasbi As-Shiddqi, Falsafah Hukum Islam, cet. ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 105.
[4] Muhammad Hasyim Kamali, Prinuples of Islamic Jurisprodence, (Selangor: Peladuk Plubucation (M) Sdn. Bhd. 1989), hlm. 463.
[5] Muwaffaq ad-Din Muhammad Abdillah bin Ahmad bin Qudamah, “ Al- Mugni wa Asy-Syarh al-Kabil, edisi. 1, (Bairut: Dar al-Fikr, 1404/1984). VII:580-581.
[6] Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad Ibnu Hambal , (Beirut: Al-Maktabah al-Islami dan Dar as-Sadir, t.t.) III: 493 dari Zaid Ibn Ka’ab.
[7] Al-Baqarah (2):20
[8] Ahmad Ibn Hambal, Musnad wa al- Imam Ahmad Ibnu Hambal, (Bairut: Al- Maktubah al-Islami dan Dar as-Sadir, t.t.), III: 493 dari Zaid Ibn Ka’ab.
[9] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikh, hlm. 152.
[10] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, cet. ke-1, (Bandung: Yayasan PIARA, 1993), hlm. 152.
[11] Imam Malik, “Al-Muwatta’
“, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), II:563, diceritakan dari
Malik setelah pada Sa’id Ibnu Musyyab. Hadis ini juga diriwayatkan oleh
Said Ibnu Mansur dengan redaksi lain dan mempunyai rijal yang saqah.
Lihat Ibnu Hajar al-Asqolani, “ Bulug al-Marom min Adillahi al-Ahkam ”, (Bandung: Al-Ma’arif, t.t.), hlm. 211-212.
[12] Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakr. 1980, A’laam al-Muwaqqi’iin ‘an Rabb al-‘Aalamii, (Cairo: Maktabah Al-Kulliyaat Al-Azhar, jilid 1), hlm. 1.
[14] “ Menaggapi Komisi Fatwa MUI Izinkan Aborsi Akibat Kasus Pemerkosaan”, Replubika, edisi 19 Mei 2005.
[15] Al-Suyuthi, Al Asybah wa al Nazhair, hlm.62.
[16] Muhammad Syalthut, al-Fatwa, (mesir: Dar al-Qalam, t.t), hlm. 290-291.
[17] Yusuf al-Qardawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, alih bahasa Ahamad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 779.
[18] Muhammad bin Muhammad abu hamid al-Ghazali, Ihya’ ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-fikr, tth), juz II, hlm. 51.
[19] Fatwa MUI No.4 Tahun 2005 tentang “ Aborsi” Jakarta 21 mei 2005, hlm. 7-8
____________________________________________________
Sumber: Skripsi Ali Syakirin,
ABORSI BAGI PEREMPUAN POSITIF HIV/AIDS SETELAH KEHAMILAN BERUSIA 120 HARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KAILJAGA YOGYAKARTA:2007
0 komentar:
Posting Komentar